-->

Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (PPh Badan)

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan dalam mendukung pembangunan negara adalah membayar pajak dengan taat. Seperti yang kita ketahui di Indonesia terdapat beberapa macam pajak penghasilan yang perlu dibayar oleh para penduduk setiap tahunnya. Salah satu jenis pajak yang sering kali dilupakan oleh para masyarakat yang memiliki usaha atau bisnis, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Badan.


Pengertian PPh Badan
Menurut ketentuan perpajakan, badan adalah sekumpulan orang atau modal yang menjadi satu kesatuan, dengan tujuan melakukan usaha ataupun tidak melakukan usaha. Pada Pasal 1 dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Pajak Penghasilan merupakan Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atau atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Sehingga, Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah Pajak Penghasilan yang terhutang oleh Wajib Pajak Badan atas Penghasilan Kena Pajaknya dalam suatu tahun pajak. Penghasilan Kena Pajak (taxable income) merupakan penghasilan/ laba yang dihitung berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia.


A. Subjek PPh Badan
Yang menjadi subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang diberikan kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun dan disetor kepada negara. Subjek PPh Badan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
  • Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
  • Subjek Pajak Badan Luar Negeri
Berikut ini pembahasan masing-msing subjek pajak tersebut.

a) Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, yaitu badan usaha yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Mekanisme suatu badan menjadi Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah sebagai berikut.


Wajib pajak dalam negeri sebagai subjek PPh badan dikenakan pajak atas penghasilan, baik yang diterima maupun diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia. Pajak dikenakan berdasarkan penghasilan neto dan Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (Tarif UU PPh Pasal 17). Selain itu Wajib pajak badan memiliki kewajiban menyampaikan SPT. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang termasuk dalam kategori Subjek Pajak Badan Dalam Negeri adalah sebagai berikut.

  1. Perseroan Terbatas (PT)
  2. Perseroan Lainnya
  3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
  4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
  5. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
  6. Bentuk Usaha Tetap
  7. Dana Pensiun
  8. Firma
  9. Kongsi
  10. Koperasi
  11. Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
  12. Lembaga dan bentuk badan lainnya
  13. Perkumpulan
  14. Persekutuan
  15. Organisasi Sosial Politik
  16. Organisasi Masyarakat
  17. Organisasi lainnya dengan nama dan bentuk apapun
  18. Yayasan
b) Subjek Pajak Badan Luar Negeri
Subjek Pajak Badan Luar Negeri, yaitu badan usaha yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia, namun badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Pajak yang dikenakan hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia dan dikenakan berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan (tarif UU PPh Pasal 26). Untuk wajib bajak badan sebagai subjek pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan SPT. Subjek Pajak Badan Luar Negeri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Subjek Pajak Luar Negeri Non BUT
Merupakan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia. Contoh penghasilan yang diterima dari Indonesia, antara lain berupa Dividen, Keuntungan Penjualan Saham, Royalty dan lain-lain.

2. Subjek Pajak Luar Negeri BUT
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan yang tidak dicirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat berupa:
  • tempat kedudukan manajemen; 
  • cabang perusahaan; 
  • kantor perwakilan;
  • gedung kantor;
  • pabrik;
  • Bengkel;
  • Gudang;
  • ruang untuk promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, dll.

Sedangkan yang tidak termasuk Subjek Pajak PPh Badan adalah sebagai berikut.
  • Badan Perwakilan Negara Asing
  • Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat:
  1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
  2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
  • Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
  1. dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
  3. penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah, dan
  4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

B. Objek PPh Badan
Yang menjadi objek PPh Badan adalah penghasilan. Penghasilan yang dimaksud adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang telah diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Penghasilan tersebut dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak Badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang merupakan objek PPh Badan baik dari dalam maupun dari luar negeri seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang PPh yang meliputi:
  1. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
  2. Dividen.
  3. Hadiah dari kegiatan dan penghargaan.
  4. Iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
  5. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, terkecuali tanah dan bangunan.
  6. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan nominal yang ditetapkan.
  7. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan.
  8. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
  9. Laba Usaha
  10. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
  11. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
  12. Peraturan Pemerintah.
  13. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
  14. Surplus Bank Indonesia.
  15. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
  16. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap.
Sedangkan yang tidak termasuk objek PPh Badan adalah sebagai berikut.
  • Bantuan/sumbangan, termasuk zakat yg diterima oleh badan amil zakat/lembaga amil zakat yg dibentuk/disahkan Pemerintah; serta harta hibahan yg diterima oleh badan keagamaan/ pendidikan/ sosial/ pengusaha kecil termasuk koperasi yg ditetapkan Menkeu;
  • Harta termasuk setoran tunai yg diterima oleh Badan sbg pengganti saham/penyertaan modal.
  • Deviden/bagian laba yg diterima/diperoleh Perseroan Terbatas, Koperasi, BUMN/D, yang merupakan WP dlm negeri dr penyertaan modal pd badan usaha yg didirikan & berkedudukan di Indonesia, dengan syarat:
  • Deviden tsb berasal dr cadangan laba ditahan. Dalam hal penerima deviden adalah PT & BUMN/D, kepemilikan saham pd badan yg memberikan deviden paling rendah 25% dr jml modal yg disetor.
  • Iuran yg diterima/diperoleh dana pensiun yg pendiriannya tlh disahkan Menkeu baik dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
  • Penghasilan dana pensiun dr modal yg ditanamkan dlm bidang-bidang tertentu, yaitu:
  1. Deposito, sertifikat deposito, tabungan pd bank di Indonesia.
  2. Obligasi yg diperdagangkan di Pasar Modal Indonesia.
  3. Saham yg tercatat di Bursa Efek Indonesia

C. Dasar Hukum PPh Badan
Dasar hukum pajak penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT pada dasarnya sama dengan dasar hukum pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi, terutama undang-undang yang berlaku bagi setiap jenis pajak penghasilan, yaitu:
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali diubah dan disempurnakan, yakni dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994,
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000,
  4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Selain perundang-undangan, dasar hukum pajak penghasilan badan juga diatur dalam peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, ataupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak, seperti:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 memuat tentang diberlakukannya tarif PPh Final 1% yang ditujukan kepada Wajib Pajak pribadi dan badan yang memiliki penghasilan dengan omzet usaha dibawah 4,8 miliar dalam satu tahun.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Tarif PPh Final yang diterapakan berdasarkan PP ini adalah 0,5% yang ditujukan kepada Wajib Pajak pribadi dan badan yang memiliki penghasilan dengan omzet usaha dibawah 4,8 miliar dalam satu tahun.

D. Jenis PPh Badan

Pada umumnya, ada dua jenis pajak yang harus dibayar dan dilaporkan oleh Wajib Pajak Badan, yaitu Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Adapun jenis-jenis PPh Badan adalah sebagai berikut.

a) PPh 21
Jika perusahaan memberikan penghasilan secara rutin kepada seorang karyawan, maka perusahaan tersebut harus membayar pajak PPh Pasal 21. Pada umumnya, perusahaan sudah memotong secara langsung gaji karyawan setiap bulannya dan membayarkannya ke kas negara. Namun, yang dikenakan pajak ini hanyalah karyawan dengan penghasilan lebih dari Rp4.500.000 per bulannya. Pemotongan pajak ditentukan dari jumlah penghasilan seorang karyawan setiap tahunnya, semakin besar penghasilannya maka semakin besar pajaknya.

b) Pajak Penghasilan Pasal 22
Untuk pajak ini hanya dikenakan pada badan usaha yang bergerak di bidang ekspor, impor, re-impor dan penjualan barang mewah. Cara menghitung PPh Pasal 22 ini lebih rumit dikarenakan ketentuannya yang lebih banyak. Besaran dari nilai pajak tersebut pun juga bervariasi, tergantung pada proses yang dilakukan.

c) Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong karena adanya transaksi antara dua pihak seperti pembagian keuntungan. Pihak yang menerima penghasilan yang akan terkena PPh Pasal 23, namun biasanya pajak ini akan dipotong dulu oleh pihak perusahaan. Sehingga jumlah yang diterima oleh penerima sudah bersih.

d) Pajak Penghasilan Pasal 25
Pasal 25 adalah pembayaran PPh secara angsuran dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan setiap bulan setelah dikurangi dengan kredit pajak. Pajak yang satu ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak agar tidak terlalu terbebani dengan pembayaran pajak sekaligus pada akhir tahun yang dirasa akan memberatkan wajib pajak.

Angsuran Pajak PPh Pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Sebagai contoh, untuk masa pajak Januari 2016, maka angsuran PPh Pasal 25 disetor paling lambat tanggal 15 Februari 2016 dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 Februari 2016.

e) Pajak Penghasilan Pasal 26
Jika memiliki sebuah perusahaan yang melakukan transaksi ke luar negeri, maka perusahaan diharuskan membayar pajak PPh Pasal 26. Saat ini, ketentuan besaran pajak yang dikenakan adalah sebesar 20% namun hal ini dapat berubah sesuai dengan aturan negara. Pajak jenis ini biasanya banyak dikenakan pada perusahaan swasta dan perusahaan impor selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

f) Pajak Penghasilan Pasal 29
Menurut UU No.36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah PPh Kurang Bayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25.

Dalam hal ini, Wajib Pajak wajib memiliki kewajiban melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat 31 Maret bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak Badan setelah tahun pajak berakhir.

g) Pajak Penghasilan Pasal 15
Pajak yang berhubungan dengan Norma Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak yang bergerak pada sektor penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, gas dan geothermal, pelayaran hingga perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna.

h) Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
Berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan yang dipotong dari bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.

E. Tarif dan Perhitungan PPh Badan
Dalam UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU PPh No.36 Tahun 2008 (UU PPh), terdapat beberapa ketentuan mengenai PPh Badan, yaitu :

🌟 Tarif normal yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
Tarif PPh ini diterapkan kepada wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Pada tahun 2009, tarif tunggal ditetapkan sebesar 28% dan diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Tarif sebesar 25% efektif berlaku untuk tahun 2010 dan seterusnya.

Contoh:
Jumlah peredaran bruto PT. Astro 2018 : Rp50 miliar.
Jumlah penghasilan kena pajak 2018 : Rp5 miliar.
PPh badan terutang = 25% x Rp5 miliar = Rp1,25 miliar.

🌟 Tarif PPh Badan untuk Perseroan Terbuka (Pasal 17 ayat (2b) UU PPh)
Bagi wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseoran terbuka dapat memperoleh fasilitas berupa penurunan tarif PPh sebesar 5% dari tarif normal atau tarif PPh badannya menjadi sebesar 20%. Untuk memperoleh fasilitas penurunan tarif tersebut, wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka harus memenuhi persyaratan berikut.
  1. paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. saham sebagaimana dimaksud di atas harus dimiliki oleh paling sedikit oleh 300 pihak;
  3. masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan disetor penuh; dan
  4. ketiga ketentuan di atas harus dipenuhi dalam waktu paling singkat 183 hari kalender dalam jangka waktu satu tahun pajak.
Fasilitas atau insentif berupa penurunan tarif ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 Tahun 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Yang Berbentuk Perseoraan Terbuka yang telah diubah dengan PP No. 56 Tahun 2015. PP ini merupakan amanat dari Pasal 17 ayat (2b) UU PPh.

Dari historisnya, fasilitas penurunan tarif ini diterapkan pemerintah untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mampu mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka serta meningkatkan kepemilikan publik pada perseoran terbuka tersebut. Bagi wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseoran terbuka yang ingin memanfaatkan fasilitas ini dapat dilakukan secara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh tahunan badan dengan melampirkan persyaratan yang diperlukan.

Contoh:
Pada 2018, saham PT. Masari Tbk. yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia sebesar 60%. Saham tersebut dimiliki oleh 400 pihak. Di antara 400 pihak, masing-masing pihak persentase kepemilikannya tidak melebihi 5%. Kondisi tersebut terjadi selama 192 hari dalam satu tahun pajak. Dengan kondisi-kondisi tersebut, PT. Masari Tbk memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas penuruan tarif PPh badan menjadi 20%.

Jumlah penghasilan kena pajak untuk tahun pajak 2018: Rp2 miliar.
PPh yang terutang = (25% - 5%) x Rp2 miliar = Rp400 juta.

🌟 Tarif PPh Badan untuk Wajib Pajak Tertentu (Pasal 31E UU PPh)
Selain itu, wajib pajak badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.

Contoh:
Peredaran bruto PT Yowana dalam Tahun Pajak 2018 sebesar Rp 30 miliar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3 miliar.

Perhitungan PPh Badannya adalah sebagai berikut.
Penghitungan penghasilan kena pajak yang mendapat fasilitas dan tidak mendapat fasilitas:
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4,8 miliar : Rp30 miliar) x Rp3 miliar = Rp480 juta.
2. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3 miliar – Rp480 juta = Rp2,52 miliar.


PPh yang terutang:
(50% x 25%) x Rp480 juta = Rp60 juta.
25% x Rp2,52 miliar = Rp630 juta.
Jumlah PPh yang terutang = Rp60 juta + Rp630 juta = Rp690 juta.

Contoh:
Dalam satu bulan, omzet penjualan usaha CV. Aditya adalah Rp100 juta (asumsi dalam setahun omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar), maka jumlah PPh terutang yang harus dibayar adalah: 0,5% x Rp100 juta = Rp500 ribu.

🌟 Penurunan Tarif PPh Pasal 25 Berlaku Mulai Masa Pajak April 2020

Pemerintah menerbitkan aturan teknis untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh) badan menggunakan tarif baru yang lebih rendah, yakni 22% untuk Wajib Pajak badan biasa dan 19% bagi Wajib Pajak badan masuk bursa. Ketentuan tarif baru ini sudah dapat digunakan sebagai basis penghitungan PPh badan mulai masa pajak April 2020 hingga saat ini

Kepastian tersebut tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-08/PJ/2020 tentang Penghitungan Angsuran PPh untuk Tahun Pajak Berjalan Sehubungan dengan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan. Beleid ini merupakan aturan teknis dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020, yang diterbitkan dan berlaku per 31 Maret 2020.

Adapun bagi perusahaan yang telah memperdagangkan sahamnya minimal 40% di Bursa Efek Indonesia (BEI), besaran tarif PPh-nya 3% lebih rendah dari tarif yang berlaku umum. Dengan demikian, tarif PPh untuk perusahaan masuk bursa menjadi 19% pada tahun 2020 dan 2021, dan turun menjadi 17% mulai tahun 2022 dan seterusnya.

0 Response to "Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (PPh Badan)"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel