-->

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Saat melakukan pembayaran pajak, seluruh Wajib Pajak atau badan harus mengetahui ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Cara pembayaran pajak sudah tertuang di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak. Dalam Pasal 10 Ayat 2 UU KUP, telah ditetapkan tata cara pembayaran, penyetoran pajak dan pelaporan, serta tata cara mengansur dan mendunda pembayaran pajak yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).


Ketentuan tersebut juga sesuai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Jatuh Tanggal Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, hingga Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.

Kedudukan Hukum Pajak dalam Sistem Hukum di Indonesia
Ketika akan memahami pajak lebih dalam, alangkah baiknya jika kita mengetahui terlebih dahulu dimana kedudukan hukum pajak di Indonesia. Hal ini sangat penting karena hukum merupakan fondasi utama pelaksanaan pajak di Indonesia.

Hukum Pajak atau Tax Law merupakan suatu kumpulan peraturan-peraturan resmi dan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Pemerintah dalam hal ini diwakilkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang berwenang mengambil kekayaan seseorang dalam bentuk pembayaran pajak, dikelola, dan diserahkan kembali kepada masyarakat. Penyerahan tersebut secara tidak langsung melalui pelayanan publik yang diambil dari kas negara.

Hukum pajak merupakan satu produk hukum dan menjadi bagian dari ilmu hukum yang mengatur hak dan kewajiban perpajakan baik dari sisi pemerintah maupun wajib pajak yang harus dipatuhi dan dijalankan. Dengan demikian, hukum pajak tidak terlepas dari sanksi hukum sebagai konsekuensi agar pemerintah (fiskus) maupun wajib pajak menaati peraturan pajak tersebut. Konsekuensi yang dimaksud yaitu sanksi hukum berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro, S.H. Hukum pajak mempunyai kedudukan diantara Hukum Perdata dan Hukum Publik. Dimana di dalam Hukum Perdata terdapat ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan setiap individu dalam bermasyarakat atau hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan individu. Sedangkan di dalam Hukum Publik di atur tentang hubungan rakyat dengan pemerintah.

Hukum pajak adalah bagian dari hukum publik. Hukum pajak di Indonesia menganut paham imperative. Artinya, pelaksanaan pemungutan pajak tidak dapat ditunda. Ketika terjadi pengajuan keberatan terhadap Pajak oleh wajib pajak yang telah ditetapkan pemerintah, sebelum ada keputusan dari Direktur Jenderal Pajak tentang keberatan diterima, maka wajib pajak terlebih dahulu harus membayar pajak sesuai dengan yang telah ditetapkan.

Hukum pajak terbagi menjadi dua macam, yaitu hukum pajak formil dan hukum pajak materiil. berikut penjelasan kedua jenis hukum pajak tersebut.

1. Hukum Pajak Formil
Hukum pajak formil merupakan hukum yang memuat prosedur untuk mewujudkan hukum pajak materiil menjadi suatu kenyataan atau realisasi. Hukum pajak formil memuat tata cara atau prosedur penetapan jumlah utang pajak, hak-hak fiskus untuk mengadakan monitoring dan evaluasi. Selain itu juga menentukan kewajiban wajib pajak untuk mengadakan pembukuan atau pencatatan dan prosedur pengajuan surat keberatan maupun banding. Contoh wujud dari hukum pajak formil adalah Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.

2. Hukum Pajak Materiil
Hukum ini memuat norma-norma yang menjelaskan tentang keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (obyek pajak), pihak yang dikenai pajak (subyek pajak), besaran pajak yang dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu berkaitan dengan timbul dan dihapusnya utang pajak, serta dinas sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh wujud dari hukum pajak materiil adalah: pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).

Tata Cara Pemungutan Pajak

A. Sistem Pemungutan Pajak Berdasarkan Pihak yang Melakukan Perhitungan Pajak
Sistem pemungutan pajak merupakan suatu mekanisme yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak ke negara.

Di Indonesia, berlaku 3 jenis sistem pemungutan pajak, yakni:
1. Self Assessment System.
2. Official Assessment System.
3. Withholding Assessment System.

Agar dapat membedakan ketiga sistem tersebut, mari kita ulas satu per satu pengertian masing-masing sistem pemungutan pajak tersebut.

1. Self Assessment System
Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan penentuan besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dengan kata lain, wajib pajak merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah. Peran pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari para wajib pajak. Self assessment system diterapkan pada jenis pajak pusat.

Contohnya adalah jenis pajak PPN dan PPh. Sistem pemungutan pajak yang satu ini mulai diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku hingga saat ini.

Namun, terdapat konskuensi dalam sistem pemungutan pajak ini. Karena wajib pajak memiliki wewenang menghitung sendiri besaran pajak terutang yang perlu dibayarkan, maka wajib pajak biasanya akan mengusahakan untuk menyetorkan pajak sekecil mungkin.

Ciri-ciri sistem pemungutan pajak Self Assessment
  • Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri.
  • Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.
  • Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali jika wajib pajak telat lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya wajib pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.

2. Official Assessment System
Official Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus atau aparat perpajakan sebagai pemungut pajak. Dalam sistem pemungutan pajak Official Assessment, wajib pajak bersifat pasif dan pajak terutang baru ada setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Sistem pemungutan pajak ini bisa diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam pembayaran PBB, KPP merupakan pihak yang mengeluarkan surat ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya. Jadi, wajib pajak tidak perlu lagi menghitung pajak terutang melainkan cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak terdaftar.

Ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment
  • Besarnya pajak terutang dihitung oleh petugas pajak.
  • Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan pajak mereka.
  • Pajak terutang ada setelah petugas pajak menghitung pajak yang terutang dan menerbitkan surat ketetapan pajak.
  • Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib dibayarkan.

3. Withholding System
Pada Withholding System, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak dan bukan juga aparat pajak/fiskus. Contoh Witholding System adalah pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Jadi, karyawan tidak perlu lagi pergi ke KPP untuk membayarkan pajak tersebut.

Jenis pajak yang menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN.

B. Sistem Pemungutan Pajak Dilihat dari Cara Perhitungan Pajak
Pajak merupakan suatu sistem yang diatur dalam undang-undang. Undang-undang salah satunya juga mengatur tata cara pemungutan. Stelsel Pajak merupakan sistem pemungutan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh para wajib pajak. Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan stelsel yang terdiri dari 3 jenis, yaitu Stelsel Nyata (Riil), stelsel Anggapan (fiktif), dan Stelsel Campuran.

1. Stelsel Nyata atau Riil
Stelsel Nyata merupakan salah satu jenis pemungutan pajak yang didasarkan pada objek atau penghasilan yang diperoleh sesungguhnya (penghasilan nyata untuk Pajak Penghasilan). Mengetahui dengan kondisi demikian, pemungutan pajak baru dilakukan pada akhir tahun. Dengan begitu, penghasilan yang sesungguhnya dapat diketahui kemudian atau disebut sistem pemungutan pajak di belakang (naheffing).

Adapun kekurangannya adalah karena pajak dibutuhkan untuk pembiayaan sepanjang tahun, maka pelaksanaannya pun tidak dapat dikatakan mudah. Apa akibatnya? Wajib pajak dibebani jumlah pembayaran pajak tinggi. Sementara, jumlah kas yang tersedia belum memadai. Setiap wajib pajak akan membayar pada akhir tahun, sehingga jumlah uang yang beredar akan terpengaruh.

Kelebihan utama stelsel nyata adalah perhitungan didasarkan pada penghasilan sesungguhnya dan hasil yang diperoleh akan lebih akurat dan real. Sehingga pajak yang dikenakan lebih realistis yaitu sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang, karena pemungutan pajak dilakukan setelah tutup buku. Dengan demikian, penghasilan yang sesungguhnya akan diketahui dengan sistem ini. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan rill diketahui). Padahal, pemerintah lebih dahulu membutuhkan penerimaan pajak ini untuk pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir tahun.

2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Jenis pemungutan pajak ini yang didasarkan pada anggapan yang diatur oleh suatu undang-undang. Anggapan yang dimaksud di sini dapat bermacam-macam jalan pikirannya, tergantung pada peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian, stelsel ini menerapkan sistem pemungutan pajak di depan (voor hedging). Misalnya, penghasilan suatu tahun pajak dianggap sama dengan tahun sebelumnya. Sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

Keunggulan stelsel ini adalah, pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahan stelsel ini adalah pajak yang telah dibayar wajib pajak tidak berdasarkan pada keadaan sesungguhnya.

3. Stelsel Campuran
Jenis stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan. Kemudian pada akhir tahun, besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Apabila kenyataannya besarnya pajak lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah pembayaran. Sebaliknya, apabila besaran pajaknya menurut kenyataan lebih kecil daripada pajak anggapan, maka wajib pajak dapat meminta kembali kelebihannya (direstitusi) atau dapat juga dikompensasi.

Kelebihan stelsel ini adalah, pemungutan pajak sudah dapat dilakukan pada awal tahun pajak, dan pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang. Kelemahan dari stelsel ini adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi karena penghitungan pajak dilakukan dua kali, yaitu pada awal dan akhir tahun.

Dari ketiga sistem Indonesia menggunakan yang mana?

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Indonesia dalam proses pemungutan pajaknya menganut stelsel campuran. Contoh penerapan stelsel campuran adalah mekanisme PPh Pasal 25/29. Dalam pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25, pada awal tahun pajak angsuran didasarkan besarnya pajak yang terutang pada surat pemberitahuan sebelumnya. Kemudian pada akhir tahun, dihitung kembali berdasarkan penghasilan sesungguhnya yang diperoleh pada tahun bersangkutan. Dalam menghitung jumlah pajak yang sesungguhnya di akhir tahun pajak (PPh Pasal 29), maka wajib pajak dapat mempertimbangkan kredit pajak PPh Pasal 25 yang telah dibayarkannya. Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak (Pajak Penghasilan Pasal 29), maka wajib pajak harus melunasi kekurangan tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan.

C. Asas Pemungutan Pajak
Pajak memiliki peran yang amat penting bagi keberlangsungan sebuah negara. Salah satu perannya adalah sebagai sumber biaya pembangunan. Agar aktivitas perpajakan dapat berjalan lancar, pemerintah pun menyediakan payung hukum dan asas pemungutan pajak.

Asas perpajakan sendiri merupakan dasar dan pedoman yang digunakan oleh pemerintah saat membuat peraturan atau melakukan pemungutan pajak. Setidaknya ada tiga asas pemungutan pajak yang kerap dijadikan pedoman di dunia, yaitu:
  • Asas tempat tinggal. Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan domisili atau tempat tinggal seseorang. Asas ini berlaku berdasarkan wilayah tempat tinggal wajib pajak.
  • Asas kebangsaan. Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan kebangsaan seseorang.
  • Asas sumber. Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan sumber atau tempat penghasilan berada.
Untuk negara Indonesia sendiri, diterapkan setidaknya tujuh asas pemungutan pajak. Bukan berarti berbeda secara keseluruhan, namun hanya dipecah ke dalam beberapa bagian yang lebih mendetail. Tujuannya adalah agar dalam rangka menjalankan sistem perpajakan, baik petugas maupun wajib pajak memiliki pegangan yang jelas dalam menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya.

Ketujuh asas pemungutan pajak yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut.
1. Asas Wilayah
Asas wilayah, hampir sama dengan asas tempat tinggal. Asas ini berlaku berdasarkan pada lokasi tempat tinggal wajib pajak. Sederhananya, wajib pajak yang memiliki objek pajak dalam bentuk apapun di wilayah negara Indonesia, maka wajib mematuhi peraturan perpajakan Indonesia. Sama halnya jika ada warga negara asing yang misal memiliki aset atau objek pajak di Indonesia, maka warga negara asing tersebut wajib menaati peraturan perpajakan yang berlaku. Mungkin terdapat sedikit perbedaan, namun pada dasarnya pemberlakuan pengenaan pajak akan dilakukan secara merata.

2. Asas Kebangsaaan
Asas ini mendasarkan pengenaan pajak pada setiap orang yang lahir dan tinggal di Indonesia. Hal yang sama juga berlaku untuk warga negara asing yang telah tinggal atau berada di wilayah negara Indonesia selama lebih dari jangka waktu 12 bulan tanpa pernah sekalipun meninggalkan negara. Untuk WNA yang memenuhi syarat tersebut, maka setiap penghasilan yang didapatkan akan memiliki tanggung jawab pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, pengenaan pajak juga akan berlaku secara merata.

3. Asas Sumber
Asas sumber diartikan sebagai pemungutan pajak berdasarkan tempat perusahaan berdiri atau tempat tinggal wajib pajak. Pada dasarnya pajak yang berlaku di Indonesia adalah pajak untuk orang yang tinggal dan bekerja di Indonesia. Jika misal seseorang tinggal di Indonesia, namun memiliki penghasilan di luar negeri, selama penghasilan tersebut akan digunakan di Indonesia, maka juga akan dikenai pajak. Namun demikian, pajak yang diberlakukan memiliki peraturan sendiri, akan masuk dalam PPh Pasal 22.

4. Asas Umum
Asas umum diartikan sebagai pemungutan pajak yang dilakukan di Indonesia akan diterapkan pada setiap objek pajak dan wajib pajak secara umum. Dengan perhitungan yang cermat, setiap wajib pajak akan memiliki besaran tanggungan pajak yang sesuai dengan porsinya. Asas umum juga berarti bahwa setiap pemungutan yang dilakukan di Indonesia hasilnya akan digunakan untuk kepentingan umum. Wujudnya beragam, seperti jalan raya, pembangunan sarana transportasi, serta fasilitas umum lainnya.

5. Asas Yuridis
Dasar pemberlakuan asas yuridis di Indonesia adalah Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945. Regulasi ini kemudian juga didukung dengan beberapa regulasi lain mengenai pemungutan pajak di Indonesia, yaitu:
  • UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  • UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Aturan dan Prosedur Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
  • UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
  • UU Nomor 14 Tahun 2002 Pengadilan Pajak yang Berlaku di Indonesia
  • UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  • UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
  • UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah
6. Asas Ekonomis
Diartikan bahwa pemungutan pajak idealnya dapat meningkatkan perekonomian negara dan masyarakat secara umum. Pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah tidak boleh hingga memberatkan masyarakat dan malah membuat ekonomi secara umum merosot. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan sebesar-besarnya pada hasil pendapatan pajak untuk kepentingan bersama.

7. Asas Finansial
Artinya setiap wajib pajak akan dikenakan pajak berdasarkan kondisi finansial yang bersangkutan. Wajib pajak dengan pendapatan Rp5.000.000 tentu akan memiliki beban pajak yang lebih kecil daripada wajib pajak dengan pendapatan Rp1.000.000.000. Asas pemungutan pajak yang terakhir ini menjadi pedoman utama perhitungan beban pajak yang dimiliki.

Terkait dengan asas pemungutan pajak, memang ketujuh asas di atas diberlakukan secara bersamaan demi menjamin keadilan sosial. Tentu saja, dengan sistem self assessment yang kini diberlakukan, wajib pajak diberikan kepercayaan penuh oleh negara untuk menghitung, membayar atau menyetor serta melaporkan pajak yang menjadi tanggung jawabnya.

D. Syarat Pemungutan Pajak
Penerapan syarat pemungutan pajak ditujukan untuk banyak hal. Pertama, untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak. Kedua, untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.

Syarat pemungutan pajak ini merupakan landasan bagi para pemungut pajak, wajib pajak atau mereka yang bergerak di dunia perpajakan, dalam memberlakukan pajak yang adil demi tercapainya Sila Kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Syarat pemungutan pajak adalah landasan prinsip yang harus ada dalam setiap aktivitas pemungutan pajak. Berikut ini 5 syarat pemungutan pajak di Indonesia.
  • Syarat Keadilan (pemungutan pajak harus adil).
  • Syarat Yuridis (pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang).
  • Syarat Ekonomis (pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian nasional).
  • Syarat Finansial (pemungutan pajak harus efisien).
  • Syarat Sederhana (sistem pemungutan pajak harus sederhana).

Dalam setiap aktivitas pemungutan pajak, penerapan sekian syarat tersebut punya arti yang penting. Sebab, tanpa syarat tersebut, aktivitas pemungutan pajak bisa menghadapi kendala bahkan melenceng dari target yang ditetapkan.

Agar lebih jelas lagi, berikut ini uraian dari masing-masing syarat pemungutan pajak tersebut.

1. Syarat Keadilan
Pemungutan pajak harus berlandaskan keadilan, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Landasan keadilan ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan bagi masyarakat. Contoh dari adil yang dimaksud antara lain:
  • Wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh undang-undang.
  • Setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak haruslah menyetorkan pajaknya.
  • Adanya sanksi untuk pelanggaran-pelanggaran pajak yang terjadi.

2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak selalu didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Salah satu undang-undang yang mengatur pemungutan pajak adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dengan adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang, pemerintah memberikan jaminan hukum bagi terlaksananya aktivitas pemungutan pajak.

3. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu aktivitas perekonomian yang dapat mengakibatkan kelesuan perekonomian nasional. Contohnya, pemungutan pajak tidak boleh mengganggu aktivitas produksi ataupun perdagangan yang sedang berlangsung.

4. Syarat Finansial
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga hasil yang diperoleh maksimal. Efisien maksudnya pemungutan pajak harus dilakukan dengan mudah, tepat sasaran, tepat waktu dan biaya minimal.Efektif artinya pemungutan pajak harus membawa hasil sesuai perhitungan yang telah dilakukan. Dalam syarat ini, biaya pemungutan pajak harus lebih kecil daripada pemasukan pajak yang diterima kas negara.

5. Syarat Sederhana
Sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah dimengerti wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan membantu wajib pajak dalam melaporkan pajak mereka dan mendorong masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan demikian, pemasukan negara dari pajak akan semakin meningkat.

E. Teori Pemungutan Pajak
Ada lima teori pemungutan pajak yang digunakan dalam pemungutan pajak di Indonesia yang wajib kamu ketahui. Ada teori asuransi, teori gaya pikul, teori kepentingan, teori daya beli dan teori bakti. Berikut penjelasan kelima teori tersebut.

1. Teori Asuransi
Menurut teori asuransi, pembayaran pajak diibaratkan seperti membayar premi dalam perusahaan asuransi dengan harapan mendapatkan perlindungan dari kejadian tidak terduga di masa yang akan datang. Premi asuransi harus dibayarkan oleh setiap peserta asuransi. Dana tersebut kemudian akan digunakan untuk menjamin kehidupan setiap peserta asuransi yang mengalami kejadian tidak terduga yang bisa mengganggu keuangan pribadi. Dengan logika yang sama, seperti itulah teori asuransi. Masyarakat membayar premi sama dengan masyarakat yang membayar pajak untuk subsidi, keamanan dan lain sebagainya.

2. Teori Kepentingan
Dalam teori kepentingan, ibarat dua belah pihak yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Negara harus melindungi harta dan jiwa masyarakat agar kepentingannya bisa terlaksana dengan baik. Untuk melakukan itu semua pastinya diperlukan biaya yang cukup banyak, biaya yang cukup banyak tersebut dibebankan kepada masyarakat. Biaya yang dikeluarkan masyarakat itu sama dengan masyarakat yang membayar pajak.

3. Teori Gaya Pikul
Dalam teori gaya pikul, pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat harus sesuai gaya pikul dan ukuran yang sesuai dengan pengeluaran dan penghasilan, baik perorangan atau sebuah badan usaha. Gaya pikul yang digunakan untuk membayar pajak akan muncul apabila kebutuhan primer dari individu sudah terpenuhi. Jika individu masih memiliki penghasilan di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) maka belum memiliki gaya pikul.

4. Teori Bakti
Teori bakti mengatakan jika suatu negara memiliki hak mutlak untuk mengambil pajak dari rakyat. Rakyat sudah memahami bahwa membayar pajak merupakan sebuah kewajiban dan tanda bakti kepada negara. Hal tersebut dilakukan agar sistem pemerintahan negara bisa terus berjalan dengan baik. Rakyat sudah mulai mengerti bahwa uang pajak yang dibayarkan akan dikelola pemerintah untuk banyak hal, seperti membangun infrastruktur.

5. Teori Daya Beli
Teori daya beli ini sangat erat berkaitan dengan kemampuan masyarakat saat melakukan transaksi jual beli. Masyarakat yang banyak dengan kebutuhan yang berbeda-beda tentu membutuhkan berbagai barang untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Pada transaksi jual beli, jenis pajak yang dikenakan adalah pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM (Pajak Penjualan Atas Barang Mewah). Jadi semakin mewah atau semakin mahal barang yang dimiliki masyarakat, maka nominal pajaknya semakin besar pula.

F. Jenis-Jenis Tarif Pajak
Tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab wajib pajak. Biasanya tarif pajak berupa persentase yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Ada berbagai jenis tarif pajak dan setiap jenis pajak pun memiliki nilai tarif pajak yang berbeda-beda. Dasar pengenaan pajak merupakan nilai dalam bentuk uang yang dijadikan dasar untuk menghitung pajak terutang. Secara struktural, tarif pajak dibagi menjadi 4 jenis berikut ini uraiannya.

1. Tarif Progresif (a progressive tax rate).
Tarif pajak progresif merupakan tarif pungutan pajak yang mana persentase akan naik sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya. Di Indonesia itu sendiri, tarif pajak progresif ini diterapkan untuk pajak penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi, seperti:
  • Lapisan penghasilan kena pajak (PKP) sampai Rp50 juta, tarif pajaknya 5%.
  • Lapisan PKP lebih dari Rp50 – Rp250 juta, tarif pajaknya 15%.
  • Lapisan PKP lebih dari Rp250 -Rp500 juta, tarif pajakya 25%.
  • Lapisan PKP di atas Rp500 juta, tarif pajaknya 30%.

2. Tarif Degresif (a degressive tax rate).
Tarif degresif ini kebalikan dari tarif progresif. Artinya, tarif pajak ini merupakan tarif pajak yang persentasenya akan lebih kecil dari jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak tinggi. Atau, persentase tarif pajak akan semakin rendah ketika dasar pengenaan pajaknya semakin meningkat.
Jadi, jika persentasenya semakin kecil, jumlah pajak terutang tidak ikut mengecil. Melainkan bisa jadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya semakin besar.

3. Tarif Proporsional (a proportional tax rate).
Tarif proporsional merupakan tarif yang persentasenya tetap meski terjadi perubahan terhadap dasar pengenaan pajak. Jadi, seberapa pun jumlah objek pajak, persentasenya akan tetap.
Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (10%) dan PBB (0,5%) dari berapa pun objek pajaknya.

4. Tarif Tetap/regresif (a fixed tax rate).
Tarif tetap atau tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang nominalnya tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya.
Tarif tetap juga dapat diartikan sebagai tarif pajak yang akan selalu tetap sesuai dengan peraturan yang telah diberlakukan, seperti Bea Meterai dengan nilai atau nominal sebesar Rp3.000, Rp6.000 dan sekarang nilainya sudah menjadi Rp 10.000

0 Response to "Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan"

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel